Hal yang paling
utama dalam buku The Pshycology of Learning Mathematics yaitu membahas tentang
bagaimana belajar matematika dengan pemahaman, tidak sekedar pengajaran. Tentu
saja hal itu akan memberi manfaat pada tahap berikutnya. Tetapi sebagian besar
dari kita cenderung memiliki sikap yang sama yang mereka peroleh dari sekolah.
Oleh sebab itu perlu diuji apakah yang dipelajari itu masih relevan atau tidak.
Bagi mereka yang tidak menyukai matematika, putus asa terhadap matematika, akan
ditunjukkan bahwa hal itu bukan kesalahan pemahaman tersebut bukan karena
mereka sendiri. Tanggapan ini mungkin menjadi salah satu faktor yang tepat
utntuk masalah non matematika yang mereka temui. Dan bagi mereka yang mangingat
matematika di sekolah, akan menyadari minat dan keberuntungan mereka karena
tidak melakukan kesalahan sebelumnya. Pada bab sebelumnya, khususnya bab 2 dan
bab 3, penekanan permasalahan matematika
pada ketergantungan siswa terhadap pengajaran yang baik, pada tahap awal dan
mungkin akan membentuk mental siswa kedepannya.
Sebelum memulai
proses pembelajaran, seorang guru mempunyai dua tugas yang penting, yaitu :
1.
Menganalisa konsep
materi yang akan disajikan
2.
Merencanakan dengan
hati-hati skema yang akan dikembangkan, dengan perhatian khusus ke tahap dimana
restrukturisasi skema akan dibutuhkan.
Ketika proses belajar mengajar
berlangsung, guru bertanggung jawab
untuk :
- Membimbing siswa dalam belajar
- Menjelaskan dan mengoreksi kesalahan
- Memberikan variasi pengayaan
- Membangkitkan dan mempertahankan minat dan motivasi siswa.
Dalam
pembahasan ini istilah “guru” dibatasi pada guru yang mengajar secara langsung
(atau mungkin tutor korespondensi) yang secara langsung dan terus menerus
berkomunikasi dengan siswa. Dalam bab ini kita akan fokus pada interaksi antara
guru dan siswa, serta cara yang
digunakan dapat berdampak pada pembelajaran matematika berdasar pada pemahaman.
Kriteria
Kebenaran dalam Matematika
Matematika umumnya berhubungan dengan ilmu-ilmu
alam; sedikit berhubungan dengan bahasa-bahasa, dan mata pelajaran seperti
sejarah, dan kesusasteraan Inggris. Matematika berbeda dengan semua pelajaran
itu, namun semua pelajaran itu sama pentingnya dengan matematika. Di dalam ilmu
pengetahuan alam, kriteria utama dari kebenaran suatu pernyataan atau bagian
dari suatu pekerjaan adalah dengan eksperimen. Memang, tidak semua eksperimen
akan dilakukan atau dibuktikan oleh siswa. Tetapi pada prinsipnya, jika mereka
bersedia menerima dengan niat baik bahwa hasil peristiwa-peristiwa tertentu
diatur oleh kondisi-kondisi tertentu, dan terutama jika mereka memiliki skema
dasar berdasarkan pada eksperimen dan pengamatan mereka sendiri, siswa ilmu
alam akan mengembangkan pengetahuan mereka dalam situasi dalam diri di mana
pertimbangan utama adalah fakta, bukan kepada kewenangan guru.
Hal ini berbeda dengan pelajaran lain, misalnya
bahasa Latin, dimana ketepatan dari sepenggal terjemahan diputuskan pada
kewenangan/wibawa guru; atau bahasa Inggris, di mana penentuan akhir baik
buruknya suatu karangan terletak pada wewenang guru (atau pengoreksi). Pada
contoh sebelumnya, pendapat guru itu bisa didukung oleh catatan hariannya;
tetapi hal ini juga didasarkan pada wewenang, bukan eksperimen. Akibatnya tidak
ada pertimbangan yang berlaku; kecuali mungkin untuk guru yang lain-suatu
pendapat kedua-bukan suatu verifikasi objektif.
Di manakah kedudukan matematika dalam hal ini? Pertanyaan
ini penting karena tidak ada yang benar-benar menyukai jika diberitahu bahwa
dia salah, atau kurang bagus. Tetapi
seorang siswa mungkin akan menerima hal ini lebih mudah jika dia diberikan
bukti yang lebih baik dibanding ‘karena saya mengatakan demikian’. Jadi apa
(atau seharusnya) kriteria kebenaran dari ilmu matematika; apakah penyelesaian
suatu persamaan atau bukti dari suatu teorema, atau jawaban atas suatu masalah
di dalam mekanika?
Tentunya didalam matematika murni, pertimbangan
utama bukanlah pada eksperimen (dengan percobaan laboratorium apa dapat
membuktikan bahwa akar pangkat dua dari -1 adalah bukan bilangan real?), lalu
apa kaitannya dengan wewenang guru. (jika seorang siswa menjawab tidak tepat
hendaknya guru meminta siswa tersebut
untuk mengecek lagi apakah pekerjaannya sudah benar atau belum?).
Kriteria akhir matematika adalah konsistensi. Ini mungkin dalam bagian tertentu
dari matematika, solusi untuk persamaan harus memenuhi persamaan dalam bentuk
aslinya, dan jika siswa menawarkan solusi yang salah, hendaklah guru yang baik
meminta mengoreksi kembali pekerjaannya. konsistensi dengan sistem matematika
yang memiliki bagian yang luas. Konsistensi ini muncul sebagai suatu
kesepakatan antara ahli matematika yang satu dan yang lain, dan antara guru dan
siswanya. Yang menarik, dan agak mengejutkan, hal ini adalah kesepakatan
tingkat tinggi yang dapat dicapai sebagai suatu dasar.
Selanjutnya, kriteria ini mengacu pada dapat
diterimanya suatu kesepakatan yang mengatur hubungan antara guru dengan siswa.
Jika seorang guru membuat kesalahan ketika mengerjakan di papan tulis, dan
seorang siswa mengetahui hal itu, guru tidak memiliki pilihan lain kecuali
meralatnya. Guru tunduk pada aturan yang sama seperti siswanya, dan tidak ada
aturan-aturan hirarki kewenangan tetapi aturan dari suatu struktur
konsep-konsep secara bersama-sama. Dalam matematika mungkin lebih pelajaran
lain, proses belajar tergantung pada kesepakatan dan kesepakatan itu merupakan
alas an yang murni.
Pencideraan Terhadap Kecerdasan
Para siswa tidak perlu menerima apapun yang tidak sesuai
dengan kepandaiannya, idealnya ia mempunyai suatu hak untuk menolak. Dan itu
melalui kemampuan seorang guru, dan bukan oleh gengsinya, kepandaian bicara,
ataupun kesewenang-wenangan, yang mengharuskan siswa untuk setuju dengan
perkataan guru. Pengajaran dan pembelajaran matematika haruslah menjadi satu interaksi antara
kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki guru dan
siswa, saling menghormati satu sama lain. Para siswa
menghormati kemampuan yang dimiliki guru, dan berharap pengetahuannya sendiri
menjadi lebih luas.
Andaikata sekarang yang dia temui bukanlah materi yang
dapat dimengerti sama sekali, tetapi satu rangkaian aturan-aturan yang tidak
berarti misalnya bahwa siswa harus, memecahkan satu persamaan, ‘Cari semua x di satu ruas dan semua kostanta
di ruas lain dengan cara mengubah tanda’ (lihat halaman 86). Petunjuk semacam ini boleh secara wajar digambarkan
sebagai suatu rangkaian dari pencideraan terhadap kecerdasan karena pada
dasarnya guru mengerti alasan suatu aturan itu, tetapi tidak selalu disampaikan
kepada siswa.
Pada konteks ini
istilah ‘pencideraan’ digunakan dalam pengertian sehari-hari dan di dalam
pengertian kedokteran berarti melukai makhluk yang hidup. Mencoba memahami
sesuatu yang meliputi bantuan skema seseorang. Untuk menjelaskan bahwa yang dikomunikasikan tidak dapat
dimengerti, penerima berusaha untuk menampung skema-skemanya menghasilkan hal
yang tidak berarti. Usaha ini sama artinya dengan merusak skema-skema, dimana
pikiran diibaratkan sebagai tubuh yang terluka.
Dalam hal ini seseorang dapat melihat mengapa beberapa siswa mendapatkan bukan hanya kekurangantusiasan terhadap matematika, walaupun menunjukkan perubahan yang positif. Selanjutnya
mereka yang berada dalam keadaan ini, cukup benar
melakukan hal itu, karena salah satu tingkat pemikiran mereka yang lebih tinggi,
yaitu kecerdasan mereka yang berkembang terbuka dengan pengaruh yang buruk.
Seorang guru bukan dimaksudkan suatu hal yang buruk, namun tindakannya yang
mengabaikan, proses berpikir siswa. Dan sama saja terhadap siswa yang tingkat
kecerdasan lebih, terkejut pada kumpulan aturan tanpa alasan yang tidak tertata
yang sering mengatur suatu pengajaran matematika. Mereka menyadari bahwa mereka
tidak dapat memperoleh makna dari apa yang disajikan kepada mereka, tapi tidak
menyadari bahwa kesalahan bukan berasal dari mereka. Bentuk penyajian yang
diberikan kepada mereka tak bermakna, atau mereka tidak diberikan ide-ide
prasyarat tertentu yang dibutuhkan dalam memahami materi baru.
Aturan-aturan Tanpa Alasan
Pengajaran seperti di atas diibaratkan seseorang belajar mengemudi diberitahu apa yang setiap
kali mereka ingin beristirahat
mereka harus menekan pedal kopling serta rem, tanpa pernah diberitahu apa
fungsi dari pedal kopling. "Mengapa ? "mereka bertanya. "Jika Anda tidak melakukan, mesin akan berhenti". "Kenapa?"
"itu akan terjadi". Alasan pertama terdengar sejauh itu pergi, tetapi
untuk menjawab kedua "mengapa?", Dua fakta dasar diperlukan. Pertama,
bahwa mesin pembakaran internal tidak akan
berjalan, seperti motor listrik atau mesin uap, mulai dari
beristirahat di bawah beban. Ia memiliki kecepatan operasional minimum. Kedua,
bahwa untuk memungkinkan mesin untuk terus berjalan secara independen dari kotak
gear dan roda jalan, alat yang disebut kopling dipasang yang memungkinkan mesin
untuk dihubungkan ke dan akan terputus dari kotak gear.
Untuk membagi
dengan 2/3 , anda mengalikan
dengan 3/2 ,’Mengapa?’ Pembaca dipersilahkan untuk mengingat apakah ia
pernah diberi suatu alasan yang baik untuk menjawab hal ini; atau kemungkinan
lain untuk mencari satu penjelasan dari
anak sekolah yang usianya sesuai, untuk menemukan apakah ia sudah menerima alasan
yang baik untuk masalah yang dimaksud.
Beberapa contoh soal matematika dapat diberikan pada
anak sekolah dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Pembaca mungkin masih ingat cara menyelesaikan
persamaan-persamaan dengan beberapa metode berikut dan sebuah buku teks yang
masih memperkenalkan penyelesaian dari persamaan sederhana dengan kata-kata:
’Kita menggunakan aturan bahwa ketika kita berpindah ruas kita mengubah tanda’.
Untuk menyelesaikan persamaan
ini pertama kali kumpulkan x dalam satu ruas (dikiri) dengan mengubah tanda
dari x
6x – 3 = 7 + x
6x
– x – 3 = 7
Selanjutnya
pindahkan (-3) keruas kanan dengan merubah tandanya
6x – x =
7 + 3
Sederhanakan kedua ruas dan
membaginya dengan 5 pada kedua ruas tersebut
5x = 10
x = 10 : 5
Jawabannya
adalah x = 2
Jika
yang diinginkan, agar siswa mampu
menyelesaikan persamaan-persamaan jenis ini dengan cepat dan efisien, maka
metode seperti itu cukup memadai. Akan tetapi, jika ada hal lain yang
diperlukan untuk memahami hasil pekerjaan seseorang, maka metode ini tidak
cukup. Dan pemahaman ini tidak sekedar kebanggaan untuk membuat tugas lebih
menyenangkan melainkan suatu keperluan agar mampu menyesuaikan pengetahuannya
dengan situasi-situasi baru. Bab 3 (halaman 30)
telah diperkenalkan untuk membuat hanya titik ini. Dalam contoh itu, ide-ide
yang diperlukan untuk mengubah aturan tanpa alasan menjadi informasi yang dapat
diasimilasikan oleh kecerdasan hanya sedikit dan sederhana. Dalam kasus
persamaan, skema awal membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun pemahaman.
Dua Macam Wewenang
Dalam
mengembangkan pengetahuan, ide-ide prasyarat yang diperlukan untuk pemahaman
tidak harus tersedia pada siswa, apapun yang dikomunikasikan hanya merupakan
hal yang biasa dalam bentuk pernyataan, dan hal ini tidak akan diperlukan untuk
pertumbuhan kecerdasan. Penerimaan dari suatu pernyataan-pernyataan bergantung
pada penerimaan dari wewenang guru itu, dan dilakukan berdasarkan sifat yang
sesuai dengan pemahaman tersebut. Jelasnya, asimilasi dari materi yang
bermakna, tergantung pada kemampuan penerimaan kecerdasan siswa.
kegiatan-kegiatan tersebut akan menghasilkan konsolidasi dan perluasan skema
siswa.
Istilah
wewenang dalam konteks ini bersifat umum, seperti seseorang yang harus
dihormati dan ditaati berdasarkan status dan fungsinya. Akan tetapi wewenag
juga bisa muncul karena pengetahuan yang tinggi dan ini jenis wewenang dari
seorang guru. Akan tetapi di sekolah-sekolah (dimana kita pertama dan terakhir
kali belajar matematika), ada kebimbangan dan konflik antara dua macam wewenang
ini.
Jenis
yang pertama erat hubungannya dengan penegakan dan pemeliharaan disiplin,
mengatur tingkah laku dan kepatuhan pada instruksi-instruksi guru. Ini
merupakan jenis disiplin yang sama diterapkan pada militer namun masih lebih
ringan. Meskipun begitu kita juga perlu membahas juga tentang disiplin-disiplin
dari matematika, ilmu kimia, filsafat dan lain-lain. Jika siswa mau diajak guru
berkumpul untuk belajar, maka diharapkan hal ini merupakan kemauannya sendiri
karena mereka ingin belajar dari guru.
Seorang
guru sekolah harus berlatih kedua jenis wewenang tersebut, dan mempromosikan
kedua disiplin itu. Jika gagal untuk mengendalikan para siswanya, yang mungkin
tidak masuk sekolah atas keinginan mereka sendiri, maka ia hanya mempunyai
sedikit kesempatan untuk mengajar mereka. Namun pada dasarnya dua peranan ini
tidak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan. Dalam keadaan tertentu, kedua
peranan ini biasanya dipisah. Pada suatu pertemuan masyarakat terpelajar,
wewenang pertama yang perlu dilatih oleh pimpinan rapat untuk mengatur jalannya
rapat, seperti menunjuk siapa yang harus berbicara, mengontrol agar pertemuan
berjalan lancar. Tidak tepat bagi siapapun untuk beraksi menentang wewenang
pimpinan rapat, tetapi sebaliknya juga setiap peserta mempunyai hak yang sama untuk
bertanya dan membicarakan ucapan pembicara sesuai kenyataan yang ada.
Kombinasi
kedua fungsi ini dalam diri seseorang diperlukan walaupun beberapa orang
memandang kuno jika siswa sebaiknya menerima peranan pengawasan guru, sedangkan
untuk belajar memahami suatu pokok persoalan dilakukan dengan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan dan diskusi antara siswa dengan siswa dan antar siswa
dengan guru. Biasanya suatu pemenuhan yang berdasarkan modus vivendi
dicapai, dimana siswa belajar seberapa jauh guru dalam peranan pertamanya,
membolehkan bahkan mendorong mereka untuk mengekspresikan rasa tidak setuju
pada peranan yang kedua.
Masalah-masalah
rumit yang berperanan khusus dalam matematika diberikan terlebih dahulu: yaitu
untuk keseluruhan materi, pengajaran dan pembelajaran didasarkan pada alasan
dan kesepakatan. Situasi menjadi kurang baik jika guru tidak berhati-hati dalam
memberikan alasan yang tepat, karena (barangkali merupakan kesalahan yang tidak
disengaja) tidak mengetahui hal tersebut. Kemudian (karena kurang analisa
konsep yang memadai) ia tidak mengembangkan skema-skema yang dimiliki siswa
dengan cara tertentu sehingga materi yang diperoleh tidak didasarkan pada
alasan tepat. Didalam kondisi seperti ini, belajar yang didasarkan pada
pemahaman akan macet, dan digantikan dengan belajar yang didasarkan pada
keteraturan dan kepatuhan.
Manfaat Diskusi
Selama
ini kalau kita perhatikan pembelajaran terpusat pada guru. Tetapi diskusi
dengan kawan sekolah dapat menjadi kontribusi penting dalam belajar. Semata-mata
sebagai tindakan berkomunikasi dengan cara mengungkapkan gagasan (ide) dapat
membantu mereka dalam mengungkapkan pendapat sehingga menjadi lebih jelas,
“setiap masalah dapat diungkap untuk
dipecahkan”, dan kita mendapat kesempatan diskusi dengan teman sehingga diperoleh suatu solusi
(penyelesaian).
Aku
menemui seorang guru yang ketika diskusi menggunakan suatu teknik yang menarik.
Ada seorang siswa yang membuat pernyataan salah dan yang lain diminta untuk
menanggapi dan menjelaskan tentang pernyataan tersebut. Selanjutnya guru ini
meminta kepada siswa lain untuk membuat kesimpulan sebagai pertimbangan dari
semua pernyataan. Hasil umum yang didapat adalah bahwa siswa dapat mengerti
(mengoreksi) kesalahannya, setelah mendapat beberapa tanggapan (pernyataan)
dari teman di kelas tersebut maka mereka telah mempelajari sesuatu yang baru.
Tetapi
ada juga diskusi yang disertai perdebatan keras, adanya faktor lain yang
menghubungkan gagasan satu dengan gagasan lain. Kedua cara diskusi di atas
menuntut penyelesaian yang berbeda. Yang pertama memerlukan kemampuan didalam
sudut pandang yang berbeda antara diri sendiri dan siswa, (untuk melihat
berbagai hal dari segi pandangannya), diperlukan dalam rangka mengetahui
penjelasan dan menghilangkan perbedaan.
Diskusi
juga melahirkan gagasan baru, satu faktor sebagai penyatuan gagasan, sebagai
contoh ada suatu teka-teki dimana potongan benda dibagi-bagikan antar beberapa
orang dan masing-masing tidak bisa melihat punya yang lain. Masing-masing
bagian jika disatukan akan bisa menjelaskan atau menjawab teka-teki tersebut. Masalah ini akan menjadi
rumit jika masing-masing orang tetap memegang bagiannya sendiri, tetapi dengan
memperlihatkan potongan-potongan itu pada suatu meja dimana semua orang dapat
melihat semua potongan maka mereka bisa bekerja sama untuk menyelesaikannya
menjadi satu kesatuan yang berarti.
Manfaat
lain dari diskusi adalah melatih tumbuhnya gagasan. Ketika mendengarkan orang
lain membaca akan bisa membantu mencetuskan gagasan baru yang tidak bisa dikemukakan
oleh orang lain sebelum ada komunikasi
dengan mereka. Sehingga dengan diskusi terjalin interaksi kreatif yang baik dan
menyenangkan. Dalam diskusi, yang kreatif dan efektif terdiri dari dua atau paling banyak tiga
orang, ketika seorang teman yang mengemukakan
pendapat maka yang lain diminta diam (mendengarkan), sehingga akan muncul suatu
gagasan baru yang baik.
Sikap-Sikap Dalam
Diskusi Kelompok
Manfaat
dari diskusi ini sangat bergantung pada hubungan pribadi yang baik antar
anggota kelompok. Tentunya harus disepakati bersama untuk semua anggota,
seperti hak untuk berbicara, mendengar, memberikan pertimbangan terhadap
pendapat orang lain. Hal ini sangat penting dalam membentuk diskusi yang
teratur dan terarah. Jika dijumpai anggota kelompok yang kurang disukai maka
kemungkinan untuk berbagi ide tidak akan terjadi. Kita tidak akan mungkin
bergaul lebih akrab atau memperhatikan sesuatu dari sudut pandangnya.
Suatu
kesalahan yang sering muncul dalam diskusi kelompok adalah mencoba memaksakan
kelompok menyesuaikan diri dengan cara berpikir kita atau mengisolasi diri dari
teman-teman lain dalam kelompok tersebut.
Ini
tidak berarti bahwa anggota kelompok harus setuju dengan semua ide yang muncul.
Setiap anggota kelompok boleh tidak setuju untuk mengadakan diskusi berdasarkan
alasan yang masuk akal, dan tidak bereaksi secara berlebihan terhadap pendapat
dari teman kelompoknya. Pada akhirnya, setiap anggota kelompok harus setuju
dengan hasil akhir diskusi.
Guru Sebagai
Pemimpin suatu Kelompok
Sikap
yang menggambarkan kedewasaan seseorang digambarkan sebagaimana yang diuraikan
diatas, setiap anggota belum tentu bisa bersikap demikian. Kemungkinan terjadi
anggota dalam kelompok bisa kurang kreatif, agak bersifat merusak, bahkan
kadang-kadang lebih daripada anggota mereka sehingga bersikap individualis.
Dalam kegiatan
kelompok, terdapat beberapa hal yang belum
diketahui sepenuhnya diantaranya 2 (dua)
faktor yang menurut
Freud adalah faktor ukuran dan kepemimpinan
1.
Ukuran
Berdasarkan
pengalaman, kelompok yang baik adalah
kelompok kecil yang terdiri atas 2 sampai 5 atau 6 orang.
Walaupun umumnya 30 sampai
40 merupakan jumlah kecil
untuk suatu kelas,
terdapat pula kecenderungan khususnya di sekolah dasar
untuk bekerja secara individu atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil.
Dalam pengajaran tradisional, digunakan kelas yang agak
besar, yang memungkinkan
seorang guru bersikap otoriter. Jika dia tidak
membentak dan memberi
perintah, dia sulit
menjalankan fungsinya sebagai
komunikator pengetahuan. Akan tetapi pada dasarnya
kedua peranan ini
bertentangan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
2.
Kepemimpinan
Idealnya seorang guru yang
baik harus bertindak sebagai berikut:
a)
Berperan seperti
seorang major dalam militer dan konduktor dari sebuah orkestra, yang
sangat bergati-hati dalam memainkan peranannya.
Untuk
menggabungkan kedua peranan
ini dengan kemampuan akademis
merupakan persoalan besar. Untuk meperlancar kegiatan belajar mengajar,
b) Mampu mengontrol
kelas dan harus berperan dengan baik. Kemampuam guru tersebut
dalam memimpin (mengatur) kelompoknya difungsikan pada tingkat intuitif dan
tidak pada tingkat reflektif.. Jika dalam pengajaran seorang siswa memberikan jawaban yang salah,
guru menulis jawaban tersebut di papan tulis dan dengan mengajukan pertanyaan
khusus yang mengarahkan seluruh siswa
(kelas) untuk mencari jawaban
lain yang benar. Dengan cara ini, siswa
terutama siswa perempuan yang menjawab
salah tidak merasa karena kesalahan yang dibuatnya. Dengan cara ini guru dapat
menciptakan kebersamaan kelompok ketika separuh dari kelas memahami persoalan
sedangkan sisanya belum. Mereka yang
benar-benar mengerti, terlihat
pada wajah mereka
kepuasan memperoleh wawasan yang
baru; tetapi juga mereka akan sungguh-sungguh mencoba membantu temannya yang
mengalami kesulitan. Jika setiap siswa sudah
mengerti, maka terciptalah
suasana santai dan perasaan puas.
c)
Memahami
tentang matematika dan mampu
mengkomunikasikannya
d)
Menjadi
pemimpi-pemimpin kelompok yang baik
Kecemasan
dan aktivitas mental yang tinggi
Alasan lain mengapa hubungan antar pribadi yang baik
sangat diperlukan dalam pemahaman matematika, ketika kecemasan diri meningkat secara subyektif maka dapat menyebabkan kesulitan dalam pemahaman. Ketika
siswa diberikan
beberapa penjelasan secara terperinci, maka beberapa siswa ada yang akan mampu
memahaminya, sebagian lagi tidakmampu
memahaminya. Bagi
mereka yang tidak memahaminya, hal ini
dapat menimbulkan rasa cemas pada kegagalan. Kecemasan ini bisa berdampak positif dan negatif bagi
siswa. Dampak positif bagi siswa adalah mereka
akan berusaha belajar lebih giat lagi untuk dapat
memahaminya. Tetapi
perasaan terlalu cemas bisa merugikan diri sendiri, misalkan dapat menimbulkan putus asa dalam usaha untuk
dapat memahaminya. Makin tinggi kecemasan siswa maka akan lebih berusaha untuk memahaminya,
namun bila tidak
mampu dapat menyebabkan
lebih cemas lagi. Kecemasan dalam keadaan tertentu dapat
mengurangi efisiensi berpikir
matematika.
Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
kecemasan dalam keadaan tertentu dapat mengurangi efisiensi berpikir
matematika.
Sebuah prinsip yang dikenal sebagai hukum Yerkes-Dodson, yang berdasarkan
bukti-bukti hasil percobaan yang sudah cukup umum diterima oleh psikolog. Hukum
ini menyatakan bahwa tingkat optimal motivasi untuk suatu tugas, semakin
memperkuat motivasi kinerja yang lebih baik. Tetapi untuk tugas yang lebih
kompleks, ini hanya terjadi sampai titik tertentu. Mulai dari nol motivasi,
yang diperkirakan menghasilkan kinerja nol, peningkatan motivasi meningkatkan
kinerja. Tetapi di luar tingkat tertentu, motivasi yang lebih meningkat tidak
menghasilkan perbaikan kinerja lebih lanjut, tetapi justru kemunduran. Dan pada
tugas yang lebih kompleks lagi, semakin rendah tingkat motivasi yang memberikan
kinerja terbaik.
Motivasi adalah hal
yang cukup sulit untuk dinilai secara akurat, meskipun biasanya merupakan
kinerja langsung. Hal ini karena motivasi bersifat internal bagi orang yang
bersangkutan, dan tidak secara langsung diamati kinerjanya, di sisi lain,
secara eksternal jelas dapat dinilai secara objektif. Untuk menilai motivasi
berdasarkan percobaan, kita harus menyiapkan kondisi yang kita asumsikan yang
akan memiliki efek motivasi tertentu pada subjek. Sebagai contoh, dalam salah
satu percobaan, tikus dihadapkan dengan dua pintu yang berbeda, salah satu dari
pintu itu terkunci, yang lain terbuka dan mengarah ke udara. Tingkat motivasi
di sini bervariasi, dengan menjaga mereka tenggelam untuk 0, 2, 4 dan 8 detik
sebelum mereka diizinkan untuk memulai. Hasilnya sesuai dengan Donson
Yerkes-hukum.
Dapat dimengerti,
ada sedikit bukti semacam ini mengenai subjek manusia. Tetapi pembaca dibiarkan
membayangkan dirinya dalam suatu lapangan ketika ia menemukan bahwa banteng
maju mengancamnya. Banteng yang sengit semakin mendekat, semakin baik
kinerjanya, dia akan lari (tugas kompleksitas rendah), melompat ke parit, atau
mendaki gerbang. tetapi anggaplah bahwa banteng menerobos pagar, dan pembaca
mencari keselamatan di mobilnya: maka dalam tugas yang sedikit lebih kompleks
untuk menemukan kunci yang tepat dan membuka kunci mobil, dia mungkin
meraba-raba. Jika kunci tidak dalam saku yang biasanya, dia mungkin memakan
waktu lebih lama untuk mengingat bahwa ia telah menyimpannya di tempat lain.
Atau terka, dengan imajinasi, bahwa ia harus memecahkan masalah yang mudah
untuk melarikan diri (seperti yang dilakukan tikus-tikus percobaan), pembaca
mungkin akan menemukan bahwa ia membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan
hal ini daripada dia berada di bawah kondisi yang lebih santai.
Kecemasan
situasi mempengaruhi aktivitas mental yang lebih tinggi. Hal ini telah lama
dikenal dalam militer. Aksi–aksi yang
harus dilakukan di bawah tekanan perang diajarkan sebagai kebiasaan yang
dibentuk dengan keras, untuk ditampilkan secara otomatis, ketika harus merencanakan strategi perang dan melaksanakan
taktik. Banyak guru mengakui bahwa ujian merupakan situasi yang menegangkan,
demikian pula melatih
siswa dalam kegiatan rutin yang
terorganisir.
Eksperimen yang dilakukan di atas didasarkan
pada hipotesis bahwa
hal ini merupakan refleksi dari kecerdasan. Satu
tugas yang digunakan untuk
menguji hipotesis ini adalah tugas
penyortiran sederhana. Kartu-kartu yang
disiapkan memiliki satu, dua. tiga atau
empat gambar yang sama pada masing-masing jenis. Gambar ini bisa berupa
segiempat, lingkaran, palang, silang atau segitiga; dan masing-masing
mungkin berwarna merah, hijau, kuning atau biru; gambar pada
kartu yang sama warnanya sama. Empat kategori kartu disusu: satu segitiga
merah, dua segiempat
hijau, tiga palang silang kuning,
empat lingkaran biru. Subyek diberi enam puluh kartu, kemudian disuruh
untuk menyortirnya berdasarkan kriteria
dan kategori yang diinginkan. Sebagai contoh,sebuah kartu yang memiliki
empat palang silang hijau akan ditempatkan
pada tumpukan dua
dari kiri jika
kriterianya berdasar warna. Jika pemisahan menurut bentuk, kartu itu
akan diletakkan di tumpukan tiga, jika menurut jumlah gambar, ditumpukan empat.
Jika kriteria yang sama digunakan seluruhnya,
siswa dapat mengerjakan tugas itu dengan cepat dan
efisien. Kemudian saat siswa disuruh menyortir kartu pertama menurut warna, kedua
menurut bentuk, ketiga menurut ukuran, keempat menurut warna dan seterus
nya. Ini bukan tugas rutin lagi, tetapi melibatkan aktivitas reflektif,
meskipun sederhana. Siswa
harus sadar kegunaan kategori
sasi dan hal ini sebagai
sesuatu yang internal;
dan mereka harus mengalihkan kategori pada
masalah berikutnya secara
seri setelah masing-masing kartu dipilih. Kegiatan yang pertama di atas
disebut receptor dan yang kedua berikut ini disebut effektor.
Siswa disuruh, seperti pada tugas pertama, untuk
menyortir secepat dan setepat mungkin.
Tetapi pada kondisi
ini, sejauh peningkatan
latihan, mereka melakukan kesalahan terus menerus. Kadang-kadang mereka
memisahkan seluruhnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
mereka mendapat sejenis rintangan mental, jika mereka tidak mengalami
kemajuan sama sekali dengan tugas
itu. Seorang subyek,
yakni seorang mahasiswa
universitas yang berintelegensi
tinggi, melaporkan adanya adanya
gelombang kepanikan yang harus dilawan. Subyek-subyek itu
menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan dan bahwa kesalahan mereka akan
dicatat. Hal ini cukup menyolok,
bagaimana pengubahan tugas rutin (setelah kegiatan refleksif
dimulai, untuk memulai sortiran berdasarkan
kategori) ke tugas
yang melibatkan refleksi berkelanjutan, yang dapat mencipta
kan kondisi dimana subyek pada saat-saat tertentu mengalami kelumpuhan mental.
Seorang guru
yang baik dapat
mengurangi kecemasan dan membentuk kepercaya an diri siswa melalui
penyisipan tugas rutin.
Dengan mengajukan pertanyaan
yang menurutnya siswa
dapat menjawab maka
akan meningkatkan penampilan siswa, mengurangi kecemasan dan membangun
kepercayaan diri,. Dengan demikian hubungan antar
pribadi, pengalaman pribadi perlu mendapat perhatian. Sebab dalam belajar
matematika sulit untuk
melupakan pengalaman masa lampau. Walaupun siswa sudah dewasa
belajar hanya melalui teks saja, tetap tidak dapat lepas
dari pengaruh historis guru
terdahulu yang membentuk sikapnya percaya diri
atau kurang percaya
diri.
Penyebab
Kecemasan.
Penyebab yang
mungkin dari suatu kecemasan salah satunya adalah
guru yang otoriter, penegakan disiplin yang sangat ketat, dan pembelajran yang mementingkan
hafalan dan kurang memperhatikan pemahaman siswa.
Alasan bahwa pembelajaran yang
didasarkan pada hafalan kurang efektif
adalah:
1.
Bahwa semakin pelajaran matematika
menjadi lebih kompleks, maka jumlah rutinitas
yang berbeda-beda untuk
dihafalkan semakin membebani ingatan.
2.
Kebiasaan
bekerja hanya untuk ruang lingkup masalah yang terbatas,
dan tidak dapat
disesuaikan oleh pelajar untuk masalah-masalah lain, tampaknya berbeda, namun
berdasarkan ide-ide matematika yang sama. Pembelajaran-skema lebih dapat menyesuaikan, dan
mengurangi beban pada ingatan.
Usaha yang mereka
tempuh adalah mencoba mengingat lebih banyak
aturan dan metode.
Kenyataannya mereka perlu kembali lagi ke permulaan dan mulai
lagi dari awal. Kondisi ini dapat menimbulkan
kecemasan sehingga untuk meningkatkan
usahanya siswa pasti menggunakan satu-satunya pendekatann yang ia kenal yaitu
mengingat. Proses ini tidak bertahan lama, sehinhgga kelanjutan program
beikutnya akan berakhir dengan munculnya suatu kecemasan.
Siswa akan selalu mengatur apa yang mereka pelajari dalam
beberapa cara, titik pentingnya adalah apakah organisasi ini memasukkan
konsep-konsep matematika dasar dan struktur yang diperlukan untuk keberhasilan
jangka panjang maupun jangka pendek. Jadi perbedaan antara peserta didik-
hafalan dan peserta didik-skematis bukanlah membagi dalam dua bagian, melainkan
sebuah kesatuan. Pemahaman ini tidak menyeluruh, dan kita semua memiliki lebih
banyak untuk belajar, bahkan tentang topik dasar. Hal yang sebenarnya penting
adalah apakah yang skema yang tersedia sedemikian rupa sehingga hal itu dapat
tumbuh, dan tumbuh cukup cepat mengikuti materi yang baru yang harus
dipelajari, atau tidak. Dalam kasus terakhir, sambil menerima bahwa mereka tanpa struktur dan fleksibilitas, akan lebih
mudah untuk menghubungi organisasi-organisasi mental, dengan nama lain: kebiasaan,
atau rutinitas. Seperti telah ditekankan, kita perlu untuk mengurus secara
rutin untuk memanipulasi soal yang diberikan dan membebaskan perhatian kita
untuk berkonsentrasi pada aspek novel, adaptasi yang membutuhkan ide-ide kita.
Ini adalah kebiasaan yang sangat berguna, dan keberhasilan awal yang mereka
dapat bawa, yang dapat menyesatkan kita ke dalam ketergantungan pada
kebiasaan-belajar sendiri.
Adaptasi Terhadap Kecemasan
Dua batasan penting yang harus dibuat untuk
mengawali pembahasan ini. Pertama, hukum
Yerkes Dodson yang menunjukkan bahwa motivasi
secara umum, mungkin meningkat
disebabkan kecemasan. Kedua, tingkat motivasi untuk suatu tugas yang diberikan tergan
tung pada individu
dan jenis tugas
yang diberikan. Kerumitan tugas bagi satu orang mungkin menjadi salah
satu yang relatif mudah bagi orang lain
Kemampuan yang tinggi bagi seorang
siswa akan memberi keuntungan pada dirinya pertama, ia merasa
kurang cemas terhadap masalah yang
dihadapi karena ia yakin dapat
mengatasinya. dan kedua
ia dapat menggunakan kecemasannya
secara konstruktif untuk mengatasi masalah
itu.
Kecemasan tertentu dapat menjadi suatu stimulus yang
berguna; dan salah satu kegunaan dari pendidikan adalah
belajar untuk menggunakannya. Hal ini
disebut dengan "adaptasi terhadap kecemasan".
Salah satu cata adaptasi terhadap kecemasan ini
adalah penggunaan teknik- teknik yang tepat untuk menghasilkan
masalah (soal-soal) yang
menjadi sumber kecemasan. Faktor lain merupakan faktor
pribadi yang tidak
akan dibahas dalam buku ini.
Motivasi
Untuk Belajar
Salah
satu langkah awal dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah
memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dan sungguh mengikuti serta
memahami materi yang akan dipelajari dalam kelas, termasuk juga bidang studi
matematika. Motivasi juga termasuk faktor yang mempengaruhi pembelajaran dan
pemahaman matematika. Kita sering mendapatkan pertanyaan dari siswa : Mengapa
kita harus belajar matematika ? Pertanyaan ini merupakan langkah awal dari
penyelidikan. Dari pertanyaan ini guru berusaha memberikan jawaban dengan
alasan yang tepat agar meraka termotivasi. Karena tanpa motivasi tidak ada
alasan untuk mengharapkan seseorang untuk melakukan upaya diperlukan.
“Termotivasi”
adalah deskripsi prilaku yang diarahkan pada kepuasan pemenuhan beberapa
kebutuhan. Beberapa kebutuhan seperti makanan, tidur, kehangatan merupakan
kebutuhan bawaan sejak lahir, lain halnya kebutuhan seperti tembakau, sabun,
televisi, hal yang perlu dipelajari dll. Dan kebutuhan yang satu merupakan
penyebab kebutuhan yang lain. Dan matematika tampaknya cukup jelas menjadi
kebutuhan yang perlu dipelajari. Dan matematika sangat berharga sebagai teknik
untuk memenuhi kebutuhan lain, matematika sebagai alat yang penting dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan komersial, termasuk dalam bidang lain.
Motivasi
ekstrinsik berdasarkan waktunya ada dua yaitu motivasi jangka panjang dan
motivasi jangka pendek. Motivasi jangka panjang merupakan motivasi yang
diberikan kepada seseorang untuk mempelajari matematika, karena matematika sangat berharga sebagai alat penting dalam
pengetahuan, teknologi, dan bidang yang lain. Tetapi motivasi ini terlalu jauh
untuk dapat diterapkan pada tahun-tahun awal sekolah, ketika pertama kali
mempelajari matematika. Sedangkan motivasi jangka pendek merupakan motivasi
yang diberikan kepada seseorang atau siswa agar mempelajari matematika pada
kegiatan pembelajaran di dalam kelas dengan baik dan sungguh-sungguh, motivasi
inilah yang cenderung efektif digunakan seorang guru. Adapun motivasi jangka
pendek yang biasa langsung digunakan adalah :
a. Keinginan untuk menyenangkan guru
b. Ketakutan yang tak menyenangkan
c. Pemberian reward atau penghargaan
d. Pemberian hukuman
Sedangkan
motivasi terhadap matematika berdasarkan penyebab asalnya, motivasi ada dua
yaitu motivasi Ekstrinsik dan motivasi Instrinsik.
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi
esktrinsik terhadap matematika merupakan motivasi yang asalnya bukan dari dalam
diri sendiri tetapi dari orang lain misalnya guru atau orang tua, atau suatu
hal yang membutuhkan untuk mempelajari matematika, misalnya agar nilainya
bagus, lulus ujian, cita-citanya tercapai dan lain sebagainya. Motivasi
ekstrinsik terhadap matematika yang paling penting adalah dari guru, karena guru
adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan matematika, mereka yang
membimbing dan menunjukkan pentingnya matematika baik untuk pengetahuan,
teknologi maupun dalam permasalahan sehari-hari. Bahkan ada siswa yang senang
dengan matematika karena dia senang dengan guru yang mengajar matematika
sehingga dia mudah mempelajari matematika padahal sebelumnya dia tidak suka
dengan yang namanya pelajaran matematika.
Motivasi Instrinsik
Motivasi
instrinsik merupakan motivasi yang berasal dari diri sendiri yang berupa
kesenangan dalam mempelajari matematika. Ada beberapa orang yang menjadikan
matematika sebagai sesuatu yang menyenangkan dan aktif dalam matematika itu
sendiri, tanpa mempedulikan tujuan atau manfaatnya. Mereka itulah para
matematikawan murni. Dan jika pandangan
ini diterima, maka banyak siswa yang berumur 7, 10 dan 12
tahun dapat memberikan diskripsi sebanyak mungkin dari pada anak berusia
16 tahun dan siswa dewasa. Mengapa orang
seharusnya senang belajar
matematika. Apakah karena matematika sendiri menarik atau
karena memenuhi kebutuhan
tertentu.
Perhatikan
seorang anak yang berjalan di atas tembok yang rendah tanpa bantuan orang
tuanya, untuk melatih keseimbangan. Atau
perhatikan seorang pendaki gunung
yang penuh resiko dan bahaya. Ia melakukan
pendakian meski sebenarnya ia
dapat menggunakan kereta
gantung. Aktivitas ini
bukan merupakan kebutuhan pokok, tetapi dilakukan untuk tujuan lain dan
mempunyai arti yang penting untuk mencapai tujuan akhir.
Kebutuhan
umum mendasar yang lain adalah kebutuhan
untuk "bertumbuh"
atau "berkembang". Kata
"berkembang"
dimaksud tidak hanya
meliputi pertumbuhan fisik tetapi
juga perkembangan ketrampilan, kekuatan, pengetahuan dan organisasi fisik
yang lain, organisasi sensori motor atau organisasi mental yang lain. Anak
kecil belum dapat
berjalan di atas tembok, memanjat pohon, melompat melalui jendela
tetapi semuanya secara langsung menyiapkan kebutuhan
pertumbuhannya untuk melatih paru-paru,
otot dan daya kontrolnya.
Perkembangan
mental itu lebih penting untuk kelangsungan hidup daripada perkembangan fisik,
dimana aktifitas memberikan kontribusi kepada pertumbuhan mental, oleh karena
itu harus dinikmati oleh anak-anak sebanyak kegiatan fisik. Selain itu pertumbuhan
mental dapat dilanjutkan lebih lama setelah pertumbuhan fisik terhenti,
sehingga kesenangan bisa berasal dari berbagai cara melatih kecerdasan
seseorang sejak kecil hingga tua. Dan matematika sebenarnya hanyalah sebuah
bentuk khusus dari kegiatan intelegensi.
Kesenangan
yang kita alamai dari kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan adalah pengalaman instrinsik dalam kegiatan itu
sendiri. Seorang anak tidak tahu bahwa suka memanjat bisa membuat dia kuat dan
tangkas, tetapi ia bertambah kuat dan tangkas karena dia suka memanjat. Oleh
karena itu membiarkan anak melakukan kesenangan mereka seperti memanjat pohon
itu lebih baik dari pada menyuruh anak untuk melakukan latihan.
Untuk
orang dewasa, situasi yang baik adalah memadukan motivasi jangka pendek dan
jangka panjang. Yang jangka pendek dengan menjadikan kesenangan belajar dan
mengerjakan matematika yang merupakan motivasi instrinsik. Sedangkan motivasi
jangka panjang berupa tujuan pribadi, praktis dan akademik yang dapat dicapai
dengan bantuan pengetahuan matematika. Tetapi yang terpenting adalah motivasi
instrinsik, karena kita tidak tahu bahwa sesuatu yang kita pelajari berguna
bagi kita. Tetapi langkah yang utama adalah belajar dan mengerjakan matematika
dalam ilmu pengetahuan adalah untuk kepentingan disi sendiri.
Kita
senang belajar matematika, maka hal itu
dapat menjadi faktor insentif yang sangat kuat
untuk belajar. Pengetahuan
itu apakah akan berguna di kemudian hari, tidak dapat
diramalkan pada waktu belajar. Ketika saya membeli obeng yang saya tahu dengan
tepat, pekerjaan apa
yang akan saya lakukan. Ketika
belajar Kalkulus dan Geometri di
perguruan tinggi, para
matematikawan dari program penelitian angkasa milik Amerika tidak tahu bahwa
mereka akan menggunakan pengetahuan
mereka untuk menggambar
orbit dari satu modul lunar.
Bagaimanapun
efektifnya motivasi intrinsik untuk
belajar matematika,tetap
merupakan sesuatu yang kurang diperhatikan dan dihargai guru.
Dalam berbagai kesempatan, guru menemukan bahwa siswanya dapat menikmati
matematika ketika matematika diajarkan dan dipelajari. Guru tersebut
melaporkan hal ini kepada saya dengan perasaan terkejut dan senang,
tetapi juga agak kuatir, seolah-olah terjadi kesalahan pendekatan
terhadap matematika yang diikuti anak. Hal ini mungkin
disebabkan guru kurang
mengetahui tentang adanya
motivasi intrinsik yang mendorong anak menikmati belajar matematika.
Terjemahan dari buku The Psychology of Learning Mathematics
Karangan Richard R Skemp