KECERDASAN REFLEKTIF DAN KECERDASAN INTUITIF (Terjemahan BAB 4 Buku THE PSHYCOLOGY OF LEARNING MATHEMATICS oleh Richard Skemp) | MATEMATIKA

CARI

KECERDASAN REFLEKTIF DAN KECERDASAN INTUITIF (Terjemahan BAB 4 Buku THE PSHYCOLOGY OF LEARNING MATHEMATICS oleh Richard Skemp)

Pada makalah ini akan dibahas tentang kecerdasan reflektif dan intuitif. Untuk memberikan deskripsi yang detil tentang dua kecerdasan ini , ada beberapa ilustrasi yang perlu dikaji sebagai berikut.
Ilustrasi pertama: ada sebuah anekdot yang mengisahkan seorang profesor matematika yang sangat terkenal. Pada saat dia sedang berbicara didepan para audiens, ia menulis sebuah pernyataan matematis di papan tulis. Kemudian ia mengatakan “Pernyataan matematis ini tentu saja tampak jelas”. Setelah dia  mencermati tulisannya di papan, dia berkata lagi “Setidaknya, saya berpikir hal ini tampak jelas”. Sesaat kemudian sang profesor bertambah ragu-ragu, dan berkata “Permisi”, kemudian ia mengambil sebuah pensil dan kertas serta meninggalkan ruangan selama kurang lebih dua puluh menit. Setelah itu, profesor datang kembali ke dalam ruangan dengan wajah berseri-seri dan berkata dengan meyakinkan “Ya, saudara-saudara, pernyataan ini memang benar-benar jelas.”
KECERDASAN REFLEKTIF DAN KECERDASAN INTUITIF
Secara psikologis, hal yang menarik dari cerita ini adalah tidak adanya kesesuaian (inkonsistensi) antara pernyataan pertama yang disampaikan oleh profesor dengan penuh keyakinan atau percaya diri  dengan pernyataan kedua yang sedikit ragu-ragu dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mempertimbangkannya. Pada pernyataan pertama yang diungkapkan oleh profesor dapat diartikan bahwa kebenaran pernyataan tersebut dapat diterima secara intuitif. Sedangkan pada pernyataan kedua dapat diartikan bahwa penerimaan secara intuitif tersebut dapat dibenarkan setelah melewati serangkaian analisis logis sehingga pada prinsip terdapat dua persoalan yaitu bagaimana proses meyakini sesuatu dan bagaimana mengetahui alasan sesorang menjadi yakin akan sesuatu tersebut.
Ilustrasi kedua: perkalian antara 16 dengan 25, (i) Apakah jawabannya? (ii) Jelaskan bagaimana penjelasan anda tentang cara memperoleh jawaban tersebut?. Dalam menjawab pertanyaan kedua, diperlukan  proses mental dalam melakukannya yang meliputi pengalihan perhatian kita dari tugas mencari jawaban kepada proses-proses pikiran bagaimana jawaban tersebut dapat ditemukan.
Ilustrasi ketiga, terdapat dua pernyataan ”What I am writing with is chalk?” dan pernyataan ”Chalk is white”. Permasalahan dari dua pernyataan tersebut adalah apakah kata ”is” digunakan (i) secara benar (ii) memiliki arti yang sama. Pertanyaan pertama mungkin akan dapat dijawab dengan segera. Tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua, kita harus merenungkan makna penggunaan kata ”is” pada setiap kalimat yang mungkin akan berbeda maknanya.
Dari ketiga ilustrasi di atas, terdapat  perbedaan yang mendasar antara  dua model kecerdasan : intuitif dan  reflektif. Pada tingkatan intuitif, kita mengetahui data-data yang berasal dari lingkungan eksternal melalui reseptor atau alat indera (terutama penglihatan dan pendengaran). Data-data ini secara otomatis akan diklasisifikasikan dan dikaitkan dengan data lain oleh struktur konseptual kita. Dengan otot-otot saraf yang bekerja secara otomatis, kita juga dapat merespons lingkungan eksternal melalui gerak kerangka tubuh seperti proses berbicara dan menulis yang sebagian besar dikontrol dan diarahkan oleh umpan balik tentang kemajuan dan hasil selanjutnya melalui reseptor eksternal. Dalam banyak kasus,  hal  ini dapat berhasil tanpa disadari misalnya saat membaca dengan keras, mengemudikan mobil, atau menjawab pertanyaan “6+5”.

Aktivitas Mental


Pada tingkat reflektif, aktivitas  mental yang berintervensi itu menjadi obyek kesadaran untuk instropeksi diri. Ketika seorang anak bertanya mengapa dalam mengucapkan kata “accelerate” sebagai “axelerate”, bukan “ackelerate”. Sehingga dapat dijelaskan (dalam konteks didengar pada contoh) untuk c yang pertama diucapkan dengan keras, karena diikuti dengan konsonan sedangkan c yang kedua diucapkan lembut, karena c diikuti oleh e atau i. Kemudian perlu dijelaskan lebih lanjut ketepatan pengucapan kata-kata lainnya. Contoh lain, saat seorang yang sedang belajar menyetir sebuah kendaraan bertanya “Mengapa kita harus mengubah gigi (gear) sebelum melewati tikungan tajam?” Pertanyaan-pertanyaan reflektif semacam ini, seringkali muncul tanpa melalui proses berpikir, sehingga kita tidak kesulitan dalam mejelaskan jawabannya. Atau pada saat menjawab menjawab “400”  dengan singkat pada pertanyaan “16 x 25”. Lalu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hal ini bisa dilakukan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberikan justifikasi jawaban tersebut, salah satunya dengan menggunakan pengetahuan tentang sifat asosiatif pada perkalian.
Data yang diperlukan untuk menjawab semua per­tanyaan tersebut datang bukan dari lingkungan tetapi dari sistem konseptual kita sendiri. Proses ini bisa direpresentasikan pada diagram berikut.



Ini terlihat dalam gambar di atas dengan kotak yang ditandai “kegiatan-kegiatan mental perantara (Intervening Mental Activities).” Kita memfokuskan perhatian kita pada sumber data ini dengan mudah dan  sesuai dengan kebiasaan yang mengasah proses kemampuan berpikir reflektif.  Kesadaran kita terhadap lingkungan luar dapat disebabkan oleh kinerja alat indera (seperti mata, telinga) dan jalan syaraf lain yang dapat dideteksi. Tetapi belum ada seorang ahli anatomi syaraf yang pernah mengungkapkan secara detil bagaimana kita dapat melihat citra visual dan mendengar  pembicaraan yang ada dalam diri kita secara internal.
Di samping itu, kemampuan berpkir reflektif ini sulit sekali berkembang pada anak-anak. Berikut ini dua contoh dari penelitian Piaget (1928).
Weng (berumur 7 th):” Meja pertama ini panjangnya 4 meter”. ”Meja yang kedua panjangnya 3 kali panjang meja pertama”. Berapa panjang meja yang kedua? Jawabanya 12 meter. Bagaimana kamu mengerjakannya? Saya menambahkan 2 dengan 2 dengan 2 dengan 2 dengan 2 dengan 2. Mengapa angka 2 tidak mengambil angka yang lain.
Gath (berumut 7 th) diberi pertanyaan  ”3 anak laki-laki diberi 9 buah apel. Berapa banyak apel yang diterima masing-masing anak?  Dijawab 3 buah, bagaimana kamu mendapatkan jawaban itu? ”Saya mencoba berpikir”.”Apa?” ”Saya mencoba berpikir di kepalaku”  ”Saya menghitung....saya mencoba untuk melihat berapa banyak dan saya menemukan 3”.
Mengerjakan sesuatu dalam suatu pikiran, pengetahuan didapat dengan sungguh-sungguh. Meskipun menurut individu yang berbeda, penulis menyebutkan anak yang berumur 6 tahun 10 bulan. ”jawaban pertama yang diperoleh adalah 12 secara cepat.”Dapatkah kamu menjelaskan darimana mendapatkan jawaban itu?”.” Baik saya melihat 3, 6, 9, 12”. Dalam jawaban yang kedua ”3”,”Bagaimana kamu mendapatkanya?” ”3 dan 3 dan 3 menjadi 9” itu jawaban spontan ”Langkah paling tepat adalah menuliskan 3 kali 3 adalah 9”.
Manakala kita mampu berpikir untuk merefleksikan ke suatu tingkatan tertentu dengan skema yang disusun sendiri, maka langkah-langkah penting berikutnya dapat dicapai. Kita dapat mendeskripsikannya sebagimana pada contoh sebelumnya. Kita dapat mengonstruksi skema baru dan menyusun sebuah rencana berdasar pada hal ini. Seseorang yang sebelumnya tidak dapat mengerjakan  16 x 25, setelah ditunjukkan proses bagaimana menyelesaikan pertanyaan sampai mendapatkan hasil bahwa empat kali dua puluh lima adalah seratus, pada langkah selanjutnya ia tidak hanya akan mampu mengerjakan 16 x 25 dengan memikirkannya sebagai 4 x (4 x 25) yang sama dengan 4 x 100,  tapi ia juga mampu mengerjakan persoalan lain semacam 24 x 25, bahkan 25 x 25. Jika ia mampu mengerjakan beberapa pertanyaan tersebut dengan baik, maka hal ini menunjukkan bahwa dia telah mendapatkan sebuah skema sederhana yang tidak semata-mata hanya dapat digunakan untuk merumuskan  suatu jawaban atas pertanyaan yang terbatas.
Kita dapat mengganti skema lama dengan skema yang baru. Kita dapat membenarkan kesalahan-kesalahan di skema-skema yang ada. Jika kita bilang “saya tahu apa yang saya lakukan salah“  Ini  tidak hanya berarti membayangkan cara kita yang ada tetapi juga merupakan bagian dari proses menemukan bagian-bagian tertentu di dalamnya yang menyebabkan kegagalan, diikuti perubahan yang memerlukan pertimbangkan secara detil pada bagian-bagian ini.
Kita mampu membuat perubahan-perubahan yang mempertimbangkan skema-skema sebagai keseluruhan atau secara detil yang belum diketahui. Namun karena secara fakta kita  bisa melaksanakan hal seperti itu, maka pada program berikutnya diperlukan penambahan lebih lanjut.
Di bawah ini beberapa contoh lehih lanjut yang meliputi aktivitas reflektif .
Seseorang  yang ingin tahu bagaimana mengalikan dua pecahan desimal, yaitu 1,2 dengan 0,57. Maka kita jelaskan kepadanya bagaimana koma desimal dapat diabaikan, perkalian dikerjakan seperti biasa, kemudian baru koma desimalnya  dimasukkan  kembali  dengan  menghitung jumlah  seluruh angka di belakang  koma desimal (12 X 57 = 684 . Bilangan 1,2 memiliki  satu  angka dibelakang  koma  desimal dan  bilangan 0,57 mempunyai dua angka di belakang koma, sehingga jumlah angka di belakang koma dari bilangan 1,2 dan 0,57 adalah tiga.  Dengan demikian,  kita masukkan kembali koma desimal pada 684 dan memperoleh 0,684). Aturan ini akan  memungkinkan mendapatkan jawaban yang  benar.  Tetapi hal  ini  tidak berkaitan dengan  pengertian  yang ada  padanya tentang arti cara menulis desimal. Untuk menjelaskan hal ini kita dapat ditulis kembali desimal-desimal itu sebagai pecahan biasa:


Pangkat dari 10 di penyebut sama dengan banyaknya angka nol pada penyebut itu, yang juga mengindikasikan banyaknya tempat di  belakang  koma  desimal. Dengan demikian, mengalikan penyebut itu sama halnya  dengan menjumlah banyaknya tempat di belakang koma desimal.
Setelah semua langkah itu dilakukan, kita dapat melanjutkan langkah berikutnya dan merefleksi metode komunikasi yang telah kita lakukan. Kemudian kita dapat memutuskan  bahwa metode ini akan lebih baik dan lebih bermakna. Dengan demikian seyogyanya kita menyusun ulang rencana dalam mengkomunikasikan skema perkalian bilangan desimal.
Sebuah pencapaian tingkat lanjut atau menurut Skemp diistilahkan sebagai far reaching kind of reflective  adalah suatu hal yang mengarah pada hal untuk mendapat rumusan matematis yang lebih umum. Sebagaimana proses belajar penggunaan  indeks, dapat dibedakan dalam dua tahapan. Setelah mendefiniskan sebuah notasi , seperti :
a2 = a x a                     (dimana a adalah sebarang bilangan)
a3 = a x a x a
a4 = a x a x a x a,         dan seterusnya

maka mudah dilihat bahwa

a2 x a3 = (a x a)    x   ( a x a x a)

           = a5

Berdasarkan contoh-contoh yang sama seperti di atas, maka para  pelajar secara intuisi akan dapat membentuk skema yang lebih umum  sehingga  ia dapat segera menulis:

a5 x a= a12

Di samping itu, dengan menggunakan cara memanipulasi, ia juga akan mampu membentuk suatu skema yang digunakan untuk menyelesaikan pembagian sebagaimana contoh:     

                                 


Hal ini juga akan melatih kemapuan berfikir secara intuitif sehingga ia akan dapat menjawab dengan cepat
a15 : a6  =  a9     .
Sesudah mengonstruksi dua skema yang saling berhubungan ini, maka ia dapat merumuskan ke dalam persamaan matematis yang lebih umum atau general:
am x a= am+n
am ¸ an  =  am – n
dengan m dan n adalah dua bilangan asli, dan di kasus kedua m lebih besar dari n.  Jika tidak demikian, maka akan mengahsilkan lambang-lambang seperti a0, a-2, a1/2   yang dalam hal ini tidak terdefinisi. Namun, pada saat ini nilai m dan n tidak harus merepresentasi bilangan asli atau m harus lebih besar dari n. Selanjutnya yang menjadi pembahasan yang menarik dan seru adalah dalam keadaan bagaimanakah penghapusan batasan-batasan tersebut diperbolehkan.
Sebuah alasan yang masuk akal untuk menghapus batasan yang pertama ialah tidak menimbulkan ketidakselarasan dengan skema yang telah dikenal sebelumnya. Sedangkan untuk yang kedua, bahwa penghapusan batasan ini menguntungkan dalam perluasan menulis indeks sehingga tetap memberikan makna.
Para pembaca sudah akrab dengan perluasan cara penulisan indeks seperti:

                    
                   
                   


Dari sejumlah contoh proses di atas, akhirnya didapatkan sebuah bentuk perumuman. Selanjutnya bentuk ini dapat diturunkan dan diterapkan pada kasus lain yang sejenis.
Selanjutnya, proses berpikir apa sajakah yang terlibat?

Secara visual, proses tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
 Dari suatu contoh, diperoleh metode umum yang mana dapat diterapkan untuk contoh lain dari jenis yang serupa
 Metode ini selanjutnya dirumuskan Metode Secara jelas, mempertimbangkan sebagai satu kesatuan dan struktur analisis.
Struktur ini digunakan untuk menemukan Solusi dengan mengunakan metode yang sama untuk contoh baru yang sejenis. Contoh aslinya termasuk dalam pengembangan metode.

Proses generalisasi matematika atau perumuman rumus matematika yang telah diuraikan di atas adalah suatu aktivitas berpikir yang kuat (powerful) dan bersifat rumit. Kenapa demikian? Pertama, generalisasi matematika memiliki kekuatan karena mampu menyusun  kemungkinan yang terkendali, terkontrol, serta memiliki kemampuan  akomodasi yang akurat dari skema yang telah ada yang pada intinya skema ini tidak hanya digunakan sebagai jawaban tertentu, tetapi juga digunakan untuk kasus sejenis . Kedua, rumit karena dalam proses generalisasi ini melibatkan  refleksi dalam mengonstruksi sebuah metode, sementara di sisi lain diharuskan untuk mengabaikan isinya. Penggunaan kemampuan intuitif itu sebenarnya bersifat temporal yang diibaratkan  ‘datang’ dan ‘pergi’, atau  bersifat sementara dan tidak berupa susunan yang teratur. Harus diakui bahwa lompatan intuitif adalah suatu pertanda dari generalisasi yang sengaja mengarah secara langsung pada hal yang mungkin belum pernah diselidiki. Terkadang kemampuan intuitif ini bisa mengakibatkan seseorang tergelincir (lets one down)  dalam melakukan analisis yang kritis. Kelemahan yang penggunaan intuitif adalah gagasan-gagasan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan asimilasi yang benar untuk memunculkan prinsip yang mustahil. Pada awal bab ni, ditegaskan untuk berhati-hati dalam  membuat keputusan intuitifnya. Jangan terlalu gegabah dalam menggunakan keputusan intuitifnya sampai benar-benar keputusan itu telah diuji secara analitis.
Contoh faktual yang berkaitan dengan hal ini adalah tentang bilangan. Bilangan yang ada pertama kali adalah bilangan asli.  Sifat-sifat himpunan dari obyek diskrit ( dan juga terbilang)  dan metode penjumlahkan dan pengurangan, mengalikan dan membaginya, dikembangkan selama berabad-abad, diajarkan pada dekade. Setelah itu barulah berkembang tentang konsep bilangan pecahan, bilangan bulat negatif, dan aturan memberikan cara yang benar untuk penambahan dan pengurangan, perkalian dan pembagiannya. Beberapa sifat dan  operasi seperti penjumlahan dan pengurangan  yang melekat pada bilangan asli pun kemudian diasimilasi pada himpunan bilangan-bilangan ini.
Bagaimana gagasan tentang bilangan dapat digeneralisasikan dengan baik melalui langkah-langkah dari bilangan bulat, bilangan rasional dan seterusnya? Suatu jawaban terperinci disampaikan dalam Bab 10 dan 11 tetapi sepatutnya diadakan peninjauan pendahuluan. Kita harus dirumuskan sifat-sifat formal dari sistem bilangan asli. Dengan operasi penjumlahan dan perkalian  pada  bilangan asli, didapatkan bilangan asli lainnya. Sifat formal adalah sifat-sifat yang tidak tergantung pada contoh yang kita pilih. Maka 12 + 9 = 21 dan 12 x 9 = 108 bukanlah sifat formal tetapi 12 + 9 = 9 +12 dan 12 x 9= 9 x 12, meskipun tidak dinyatakan secara umum. Adapun lima sifat formal dari sistem bilangan asli adalah sebagai berikut:
1.    a + b = b + a
2.    a x b = b x a
3.    a + (b + c) = (a + b) + c
4.    a x (b x c) = (a x b) x c
5.    a x (b + c) = (a x b) + (a x c)
dengan a, b dan c adalah bilangan asli
Meskipun demikian sistem bilangan terbilang (bilangan asli) kita adalah terbatas. Dengan bantuan unit-unit sistem ini dapat diperluas sehingga memungkinkan pengukuran objek selanjutnya; tetapi bilangan-bilangan yang ada tidak termasuk semua yang kita butuhkan dengan ukuran kurang dari satu unit. Karena kelemahan ini munculah bilangan yang baru, berhubungan dengan satuan yang pecah. Namun, hal ini terlalu dini untuk untuk menyebut bilangan-bilangan itu sebelum kita menggeneralisasikan skema 'sistem bilangan' dengan memenuhi syarat kegunaan dan konsistensi.
Yang dimaksud dengan konsistensi adalah kita harus menciptakan cara-cara : menambah dan mengalikan entitas baru yang  mempunyai lima sifat formal. Kegunaan memiliki arti  bahwa hasil-hasil dari manipulasi tersebut harus mengarahkan kepada kita mengetahui hal yang seharusnya diketahui sehubungan dengan obyek-obyek yang ditunjukkan dengan entitias. Kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi dengan membuat  asimilasi dari sistem bilangan baru untuk keberadaan dan menggunakan skema yang baik.
Penggunaan yang sama untuk pengembangan dari bilangan bulat positif dan negatif, bilangan rasional (yang biasanya diidentifikasikan dengan bilangan pecah), bilangan riil ( meliputi irrasional seperti √2, π) sampai di sini kita terkait dengan prosesnya bukan  hasilnya, dan aktivitas refleksi pada sifat formal dari skema yang merupakan bagian dari proses generalisasi matematis, yang merupakan aktivitas pada tingkat yang lebih tinggi dibanding  kecerdasan reflektif.
Jika kecerdasan yang kedua yaitu kecerdasan reflektif yang berperan penting dalam menentukan progres kemajuan level pemikiran matematis, maka hal ini jelas akan memunculkan ketertarikan yang besar untuk  mengetahui pada usia berapa kemampuan reflektif ini akan muncul dan bagaimana kita bisa membantu sekaligus mempercepat kemunculannya jika dibutuhkan. Jawaban untuk pertanyaan pertama kita dapat merujuk pada penelitian Inhelder dan Piaget (1958) yang mengindikasikan bahwa anak mampu mengembangkan kemampuan refleksi terhadap isi (makna sesuatu) pada umur sekitar 7 – 11 tahun. Pada usia tersebut mereka mampu menggunakan ide – ide kongkret  dalam bebagai cara, seperti membalikkan sebuah tindakan meski hanya dalam imajinasi, kemudian kembali lagi pada pekerjaan awal sesuai urutan semula. Pada usia tersebut mereka juga bisa menemukan sebuah pokok permasalahan meskipun tidak dengan alasan yang formal (dengan argumen yang bebas dan tidak terikat pada isi permasalahan) sampai mereka menjadi dewasa. Terkait dengan hal ini  Inhelder dan Piaget juga menemukan bahwa anak yang lebih muda tidak mampu membuat argumentasi dari sebuah hipotesis apabila hipotesis tersebut bertolak belakang dengan pengalamannya selama ini.
Pada penelitian Inhelder dan Piaget diatas permasalahannya dibatasi hanya pada apa yang telah mereka temukan. Atau bisa dikatakan bahwa pengalaman dapat mengindikasikan progress dari kecerdasan reflektif seperti yang telah dikembangkan di sekolah-sekolah Swiss melalui interaksi antara kemampuan yang dibawa sejak lahir dengan pengalaman budaya dan pendidikan yang dialami. Kita tidak akan mengetahui perkembangan dari interaksi ini jika kita tidak langsung mengajar. Sebagai pembanding, ketika kebanyakan siswa belajar menyanyi secara spontan tentang suatu nyanyian yang sedang “ngetren” dengan hanya mendengarkan orang lain bernyanyi. Tetapi proses belajar ini akan sangat dipercepat dan pada akhirnya hasilnya sangat meningkat hanya dengan menjadi anggota paduan suara pada King’s university di Cambridge atau Magdalen University di Oxford. Sekarang ini perngembangan dari kemampuan reflektif dan penalaran formal tidak menjadi bahan pengajaran dikarenakan dua alasan yakni karena kepentingan ini sulit diwujudkan dan kedua karena kita tidak tahu bagaimana cara mengajarkannya dan bagaimana cara mempelajarinya.
Sebuah  hipotesis yang sangat beralasan  pada saat ini adalah bahwa pada kondisi apapun seorang pelajar diharuskan mampu merumuskan gagasannya secara eksplisit dan mampu meyakinkan gagasan tersebut  dengan menunjukkan penurunannya secara logis dari  gagasan yang lain dan gagasan yang dapat diterima secara umum. Hal ini akan melatih dan juga mengembangkan kecerdasan reflektif pada skema mereka. Dengan kata lain, proses diskusi dan penyampaian argumentasi dengan baik adalah cara belajar yang paling efektif untuk melatih kecerdasan refletif.
Mereka yang sudah mencoba pada umumnya setuju bahwa usaha untuk mengajarkan suatu topik dengan menggunakan tekanan yang  kuat akan  mempertajam  kecerdasan reflektif siswa. Sebuah  eksperimen sederhana bisa mendukung pandangan ini.  Dua kelas paralel yang terdiri dari anak laki-laki berumur sekitar 14 tahun pada sekolah tingkah menengah mempelajari topik-topik yang  berbeda dari guru matematika mereka. Pada setiap kelas akan diberikan tes untuk masing-masing topik yang diajarkan dengan perlakuan yang sama. Pada kelas yang pertama, ditekankan pada konsep invers suatu bilangan. Sedangkan pada kelas yang lain, mereka juga mempelajari topik yang sama dalam waktu yang bersamaan dan dalam durasi waktu yang sama.  Siswa yang berperan sebagai tutor sebaya mengajari siswa-siswa yang lain tentang materi yang akan diujikan. Pada intinya, di akhir percobaan kedua kelas diuji kembali tentang topik yang sama dengan topik awal yang telah mereka ajari. Hal ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pengajaran sebuah topik untuk kelas yang lain dengan| upaya melanjutkan praktik secara mandiri. Hasilnya, didapatkan bahwa pada eksperimen yang kedua lebih baik daripada ekspreimen yang pertama.
Komunikasi timbul sebagai salah satu pengaruh yang menyenangkan pada perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu faktornya adalah kebutuhan yang pasti untuk menghubungkan gagasan dengan simbol. Hal yang lain adalah interaksi antara gagasan pribadi seseorang dengan orang lain. Agar kesepakatan diterima secara umum hasil secara komunal dari sebuah ide harus bebas dari egosentris yang tidak tergantung dari pengalaman individu. Dan setelah hal ini dianjurkan dan dipaksakan terhadap seseorang, maka perlu diklarifikasi dengan gagasan pribadi, direduksi kesalahpahaman, dipertahankan dengan mengungkap hubungan gagasan tersebut dengan gagasan lain, dan diperbaiki kelemahan yang ditemukan pada bagian lain, dan diakhiri dengan struktur yang lebih kuat dan kohesif daripada sebelumnya. Untuk dapat melaksanakan kebutuhan yang terakhir tentang pencapaian dari sebuah ide, hal untuk mengurangi keterlibatan sehingga seseorang tidak merasa tertekan pribadinya, terbebani atau terkalahkan ketika skemanya dinilai tidak akurat dan tidak konsisten. Keyakinan terkhir sangat menunjukkan bahwa kaitan proses pmbelajar dengan pengajar adalah hal yang sangat penting untuk mengembangkan kecerdasan reflektif siswa.
Diskusi-diskusi ini harus diperluas dalam rangka  meningkatkan pengaruh kepada setiap individu untuk mengasah kecerdasan intuitif',  kemampuan reflektif untuk  mengonstruksi dan mengombinasikan isi pikiran, kemampuan bernalar secara formal. Seseorang sangat diharapkan untuk merefleksikan sebuah konsep yang belum dibentuk dan mengembangkan secara lebih baik sistem reflektifnya.Jadi baik kecerdasan intuitif maupun reflektif menjadi bagian yang benar-benar dibutuhkan untuk pengembangan kajian matematika yang baru. Maka di dalam langkah-langkah yang lebih awal, analisa konseptual oleh guru harus digunakan sebagai suatu dasar untuk membuat suatu rencana yang cermat, yaitu pelajar dapat mempersatukan kembali struktur di dalam pikirannya. Ini adalah kasus apakah pelajaran secara langsung diambil dari seorang guru, atau secara tidak langsung dari sebuah buku. Situasi yang lebih menguntungkan yaitu pertanyaan-pertanyaan dapat diajukan, penjelasan diberikan, dan memberi keuntungan yang lebih besar, bahwa seorang guru yang peka dapat mengetahui titik-titik pertumbuhan skema para pelajar, dan memberi materi pada saat yang tepat. Fleksibilitas pendekatan ini memerlukan juga suatu penguasaan materi yang lebih baik yang kemudian membuat persiapan perencanaan yang baik.
Sumbangan terakhir dari guru yang baik adalah mengurangi ketergantungan siswa secara bertahap  dalam proses pembelajaran. Selain itu, juga memberikan ruang kebebasan pada siswanya untuk  menganalisis sendiri materi baru yang didapatkannya sehingga siswa dapat menyesuaikan dengan  skemanya sendiri melalui proses yang bermakna bagi mereka dengan cara yang sama atau berbeda dari cara yang telah ditunjukkan.
Dengan demikian,  guru matematika harus memiliki tiga tugas utama. Pertama, dia harus  mampu menyesuaikan materi matematika dengan perkembangan  skema matematika siswa. Kedua, dia juga harus menguasai pola penyajian dengan model-model berpikir (seperti penalaran intuitif, penalaran kongkrit, gabungan keduanya,  dan berfikir formal) sehingga dapat diterima oleh siswa. Ketiga,  dia harus mampu meningkatkan secara bertahap kemampuan analitik siswa sehingga mereka mampu mencapai kemandirian dan mengurangi ketergantungan kepada guru .
Meskipun kita mempunyai beberapa dugaan  yang sangat beralasan akan perkembangan terakhir, tetapi  pengetahuan kita akan hal ini masih sangat terbatas. Karena itu, guru-guru yang terbaik adalah mereka yang selalu aktif untuk belajar.