Pada makalah ini akan dibahas tentang kecerdasan
reflektif dan intuitif. Untuk memberikan deskripsi yang detil tentang dua
kecerdasan ini , ada beberapa ilustrasi yang perlu dikaji sebagai berikut.
Ilustrasi pertama: ada sebuah
anekdot yang mengisahkan seorang profesor matematika yang sangat
terkenal. Pada saat dia sedang berbicara didepan para audiens, ia menulis
sebuah pernyataan matematis di papan tulis. Kemudian ia mengatakan “Pernyataan
matematis ini tentu saja tampak jelas”. Setelah dia mencermati tulisannya di papan, dia berkata
lagi “Setidaknya, saya berpikir hal ini tampak jelas”. Sesaat kemudian sang
profesor bertambah ragu-ragu, dan berkata “Permisi”, kemudian ia mengambil sebuah
pensil dan kertas serta meninggalkan ruangan selama kurang lebih dua puluh
menit. Setelah itu, profesor datang kembali ke dalam ruangan dengan wajah berseri-seri
dan berkata dengan meyakinkan “Ya, saudara-saudara, pernyataan ini memang
benar-benar jelas.”
Secara psikologis, hal yang menarik dari cerita ini
adalah tidak adanya kesesuaian (inkonsistensi) antara pernyataan pertama yang
disampaikan oleh profesor dengan penuh keyakinan atau percaya diri dengan pernyataan kedua yang sedikit ragu-ragu
dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mempertimbangkannya. Pada
pernyataan pertama yang diungkapkan oleh profesor dapat diartikan bahwa kebenaran
pernyataan tersebut dapat diterima secara intuitif. Sedangkan pada pernyataan
kedua dapat diartikan bahwa penerimaan secara intuitif tersebut dapat
dibenarkan setelah melewati serangkaian analisis logis sehingga pada prinsip
terdapat dua persoalan yaitu bagaimana proses meyakini sesuatu dan bagaimana
mengetahui alasan sesorang menjadi yakin akan sesuatu tersebut.
Ilustrasi kedua: perkalian
antara 16 dengan 25, (i) Apakah jawabannya? (ii) Jelaskan bagaimana penjelasan anda
tentang cara memperoleh jawaban tersebut?. Dalam menjawab pertanyaan kedua,
diperlukan proses mental dalam
melakukannya yang meliputi pengalihan perhatian kita dari tugas mencari jawaban
kepada proses-proses pikiran bagaimana jawaban tersebut dapat ditemukan.
Ilustrasi ketiga, terdapat dua pernyataan ”What I am writing with is chalk?” dan pernyataan ”Chalk is white”. Permasalahan dari dua
pernyataan tersebut adalah apakah kata ”is”
digunakan (i) secara benar (ii) memiliki arti yang sama. Pertanyaan pertama
mungkin akan dapat dijawab dengan segera. Tetapi untuk menjawab pertanyaan
kedua, kita harus merenungkan makna penggunaan kata ”is” pada setiap kalimat yang mungkin akan berbeda maknanya.
Dari ketiga ilustrasi di atas, terdapat perbedaan yang mendasar antara dua model kecerdasan : intuitif dan reflektif. Pada tingkatan intuitif, kita mengetahui data-data yang
berasal dari lingkungan eksternal melalui reseptor atau alat indera (terutama
penglihatan dan pendengaran). Data-data ini secara otomatis akan
diklasisifikasikan dan dikaitkan dengan data lain oleh struktur konseptual kita.
Dengan otot-otot saraf yang bekerja secara otomatis, kita juga dapat merespons lingkungan
eksternal melalui gerak kerangka tubuh seperti proses berbicara dan menulis
yang sebagian besar dikontrol dan diarahkan oleh umpan balik tentang kemajuan
dan hasil selanjutnya melalui reseptor eksternal. Dalam banyak kasus, hal ini
dapat berhasil tanpa disadari misalnya saat membaca dengan keras, mengemudikan
mobil, atau menjawab pertanyaan “6+5”.
Aktivitas Mental |
Pada tingkat reflektif, aktivitas mental yang
berintervensi itu menjadi obyek kesadaran untuk instropeksi diri. Ketika
seorang anak bertanya mengapa dalam mengucapkan kata “accelerate” sebagai “axelerate”,
bukan “ackelerate”. Sehingga dapat
dijelaskan (dalam konteks didengar pada contoh) untuk c yang pertama diucapkan
dengan keras, karena diikuti dengan konsonan sedangkan c yang kedua diucapkan
lembut, karena c diikuti oleh e atau i. Kemudian perlu dijelaskan lebih lanjut
ketepatan pengucapan kata-kata lainnya. Contoh lain, saat seorang yang sedang
belajar menyetir sebuah kendaraan bertanya “Mengapa kita harus mengubah gigi
(gear) sebelum melewati tikungan tajam?” Pertanyaan-pertanyaan reflektif
semacam ini, seringkali muncul tanpa melalui proses berpikir, sehingga kita
tidak kesulitan dalam mejelaskan jawabannya. Atau pada saat menjawab menjawab “400” dengan singkat pada pertanyaan “16 x 25”. Lalu, yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana hal ini bisa
dilakukan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberikan justifikasi jawaban
tersebut, salah satunya dengan menggunakan pengetahuan tentang sifat asosiatif
pada perkalian.
Data yang diperlukan untuk menjawab semua pertanyaan
tersebut datang bukan dari lingkungan tetapi dari sistem konseptual kita
sendiri. Proses ini bisa direpresentasikan pada diagram berikut.
Ini terlihat dalam gambar di atas dengan
kotak yang ditandai “kegiatan-kegiatan mental perantara (Intervening Mental Activities).” Kita memfokuskan perhatian kita pada sumber data ini dengan mudah
dan sesuai dengan kebiasaan yang
mengasah proses kemampuan berpikir reflektif.
Kesadaran kita terhadap lingkungan luar dapat disebabkan oleh kinerja alat
indera (seperti mata, telinga) dan jalan syaraf lain yang dapat dideteksi.
Tetapi belum ada seorang ahli anatomi syaraf yang pernah mengungkapkan secara
detil bagaimana kita dapat melihat citra visual dan mendengar pembicaraan yang ada dalam diri kita secara
internal.
Di samping itu,
kemampuan berpkir reflektif ini sulit sekali berkembang pada anak-anak. Berikut
ini dua contoh dari penelitian Piaget (1928).
Weng (berumur 7
th):” Meja pertama ini panjangnya 4 meter”. ”Meja yang kedua panjangnya 3 kali
panjang meja pertama”. Berapa panjang meja yang kedua? Jawabanya 12 meter.
Bagaimana kamu mengerjakannya? Saya menambahkan 2 dengan 2 dengan 2 dengan 2
dengan 2 dengan 2. Mengapa angka 2 tidak mengambil angka yang lain.
Gath (berumut 7
th) diberi pertanyaan ”3 anak laki-laki
diberi 9 buah apel. Berapa banyak apel yang diterima masing-masing anak? Dijawab 3 buah, bagaimana kamu mendapatkan
jawaban itu? ”Saya mencoba berpikir”.”Apa?” ”Saya mencoba berpikir di kepalaku”
”Saya menghitung....saya mencoba untuk
melihat berapa banyak dan saya menemukan 3”.
Mengerjakan
sesuatu dalam suatu pikiran, pengetahuan didapat dengan sungguh-sungguh.
Meskipun menurut individu yang berbeda, penulis menyebutkan anak yang berumur 6
tahun 10 bulan. ”jawaban pertama yang diperoleh adalah 12 secara
cepat.”Dapatkah kamu menjelaskan darimana mendapatkan jawaban itu?”.” Baik saya
melihat 3, 6, 9, 12”. Dalam jawaban yang kedua ”3”,”Bagaimana kamu
mendapatkanya?” ”3 dan 3 dan 3 menjadi 9” itu jawaban spontan ”Langkah paling
tepat adalah menuliskan 3 kali 3 adalah 9”.
Manakala kita
mampu berpikir untuk merefleksikan ke suatu tingkatan tertentu dengan skema
yang disusun sendiri, maka langkah-langkah penting berikutnya dapat dicapai.
Kita dapat mendeskripsikannya sebagimana pada contoh sebelumnya. Kita dapat mengonstruksi
skema baru dan menyusun sebuah rencana berdasar pada hal ini. Seseorang yang
sebelumnya tidak dapat mengerjakan 16 x 25,
setelah ditunjukkan proses bagaimana menyelesaikan pertanyaan sampai
mendapatkan hasil bahwa empat kali dua puluh lima adalah seratus, pada langkah
selanjutnya ia tidak hanya akan mampu mengerjakan 16 x 25 dengan memikirkannya sebagai 4 x (4 x 25) yang sama dengan 4 x 100, tapi ia juga mampu mengerjakan persoalan lain
semacam 24 x 25, bahkan 25 x 25. Jika
ia mampu mengerjakan beberapa pertanyaan tersebut dengan baik, maka hal
ini menunjukkan bahwa dia telah mendapatkan sebuah skema sederhana yang tidak
semata-mata hanya dapat digunakan untuk merumuskan suatu jawaban atas pertanyaan yang terbatas.
Kita dapat mengganti skema lama dengan skema yang baru. Kita dapat membenarkan kesalahan-kesalahan di skema-skema
yang ada. Jika kita bilang “saya tahu apa yang saya lakukan salah“ Ini tidak
hanya berarti membayangkan cara kita yang ada tetapi juga merupakan bagian dari
proses menemukan bagian-bagian tertentu di dalamnya yang menyebabkan kegagalan,
diikuti perubahan yang memerlukan pertimbangkan secara detil pada bagian-bagian ini.
Kita mampu membuat perubahan-perubahan yang mempertimbangkan
skema-skema sebagai keseluruhan atau secara detil yang belum diketahui. Namun
karena secara fakta kita bisa melaksanakan
hal seperti itu, maka pada program berikutnya diperlukan penambahan lebih
lanjut.Di bawah ini beberapa contoh lehih lanjut yang meliputi aktivitas reflektif .
Seseorang yang ingin tahu bagaimana mengalikan dua pecahan desimal, yaitu 1,2 dengan 0,57. Maka kita jelaskan kepadanya bagaimana koma desimal dapat diabaikan, perkalian dikerjakan seperti biasa, kemudian baru koma desimalnya dimasukkan kembali dengan menghitung jumlah seluruh angka di belakang koma desimal (12 X 57 = 684 . Bilangan 1,2 memiliki satu angka dibelakang koma desimal dan bilangan 0,57 mempunyai dua angka di belakang koma, sehingga jumlah angka di belakang koma dari bilangan 1,2 dan 0,57 adalah tiga. Dengan demikian, kita masukkan kembali koma desimal pada 684 dan memperoleh 0,684). Aturan ini akan memungkinkan mendapatkan jawaban yang benar. Tetapi hal ini tidak berkaitan dengan pengertian yang ada padanya tentang arti cara menulis desimal. Untuk menjelaskan hal ini kita dapat ditulis kembali desimal-desimal itu sebagai pecahan biasa:
Pangkat dari 10
di penyebut sama dengan banyaknya angka nol pada penyebut itu, yang juga
mengindikasikan banyaknya tempat
di belakang koma
desimal. Dengan demikian, mengalikan penyebut itu sama halnya dengan menjumlah banyaknya tempat di belakang
koma desimal.
Setelah semua langkah itu dilakukan, kita dapat
melanjutkan langkah berikutnya dan merefleksi metode komunikasi yang telah kita
lakukan. Kemudian kita dapat memutuskan
bahwa metode ini akan lebih baik dan lebih bermakna. Dengan demikian
seyogyanya kita menyusun ulang rencana dalam mengkomunikasikan skema perkalian
bilangan desimal.
Sebuah pencapaian tingkat lanjut atau menurut Skemp diistilahkan
sebagai far reaching kind of reflective
adalah suatu hal yang mengarah pada hal
untuk mendapat rumusan matematis yang lebih umum. Sebagaimana proses belajar penggunaan
indeks, dapat dibedakan dalam dua tahapan.
Setelah mendefiniskan sebuah notasi , seperti :
a2 = a x a (dimana a adalah sebarang
bilangan)
a3 = a x a x a
a4 = a x a x a x a, dan seterusnya
maka mudah dilihat bahwa
a2 x a3 = (a x a) x (
a x a x a)
= a5
Berdasarkan contoh-contoh yang sama seperti di atas, maka para pelajar secara intuisi akan dapat membentuk
skema yang lebih umum sehingga ia dapat segera menulis:
a5 x a7 = a12
Di samping itu, dengan
menggunakan cara memanipulasi, ia juga akan mampu membentuk suatu skema yang
digunakan untuk menyelesaikan pembagian sebagaimana contoh:
Hal ini juga akan melatih kemapuan berfikir secara intuitif sehingga ia
akan dapat menjawab dengan cepat
a15 : a6 = a9 .
Sesudah mengonstruksi dua skema yang saling
berhubungan ini, maka ia dapat merumuskan ke dalam persamaan matematis yang
lebih umum atau general:
am x an = am+n
am ¸ an = am – n
dengan m dan
n adalah dua bilangan asli, dan di kasus kedua m lebih besar dari n. Jika
tidak demikian, maka akan mengahsilkan lambang-lambang seperti a0, a-2, a1/2 yang dalam hal ini tidak terdefinisi. Namun,
pada saat ini nilai m dan n tidak harus merepresentasi bilangan asli atau m
harus lebih besar dari n. Selanjutnya yang menjadi pembahasan yang menarik dan
seru adalah dalam keadaan bagaimanakah
penghapusan batasan-batasan tersebut diperbolehkan.
Sebuah alasan
yang masuk akal untuk
menghapus batasan yang pertama ialah tidak
menimbulkan ketidakselarasan dengan skema yang telah dikenal sebelumnya.
Sedangkan untuk yang kedua, bahwa penghapusan batasan ini menguntungkan dalam perluasan
menulis indeks sehingga tetap memberikan makna.
Para pembaca sudah akrab dengan perluasan cara
penulisan indeks seperti:
Dari sejumlah contoh proses di atas, akhirnya
didapatkan sebuah bentuk perumuman. Selanjutnya bentuk ini dapat diturunkan dan
diterapkan pada kasus lain yang sejenis.
Selanjutnya, proses berpikir
apa sajakah yang terlibat?
Secara visual, proses tersebut dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
Dari
suatu contoh, diperoleh metode umum yang mana dapat diterapkan untuk contoh lain dari jenis yang
serupaMetode ini selanjutnya dirumuskan Metode Secara jelas, mempertimbangkan sebagai satu kesatuan dan struktur analisis.
Struktur ini digunakan untuk menemukan Solusi dengan mengunakan metode yang sama untuk contoh baru yang sejenis. Contoh aslinya termasuk dalam pengembangan metode.
Proses generalisasi
matematika atau perumuman rumus matematika yang telah diuraikan di atas adalah
suatu aktivitas berpikir yang kuat (powerful)
dan bersifat rumit. Kenapa demikian? Pertama, generalisasi matematika memiliki
kekuatan karena mampu menyusun
kemungkinan yang terkendali, terkontrol, serta memiliki kemampuan akomodasi yang akurat dari skema yang telah
ada yang pada intinya skema ini tidak hanya digunakan sebagai jawaban tertentu,
tetapi juga digunakan untuk kasus sejenis . Kedua, rumit karena dalam proses
generalisasi ini melibatkan refleksi
dalam mengonstruksi sebuah metode, sementara di sisi lain diharuskan untuk mengabaikan
isinya. Penggunaan kemampuan intuitif itu sebenarnya bersifat temporal yang
diibaratkan ‘datang’ dan ‘pergi’, atau bersifat sementara dan tidak berupa susunan
yang teratur. Harus diakui bahwa lompatan intuitif adalah suatu pertanda dari
generalisasi yang sengaja mengarah secara langsung pada hal yang mungkin belum pernah
diselidiki. Terkadang kemampuan intuitif ini bisa mengakibatkan seseorang tergelincir
(lets one down) dalam melakukan analisis yang kritis. Kelemahan
yang penggunaan intuitif adalah gagasan-gagasan yang tidak konsisten sehingga
mengakibatkan asimilasi yang benar untuk memunculkan prinsip yang mustahil. Pada
awal bab ni, ditegaskan untuk berhati-hati dalam membuat keputusan intuitifnya. Jangan terlalu
gegabah dalam menggunakan keputusan intuitifnya sampai benar-benar keputusan
itu telah diuji secara analitis.
Contoh
faktual yang berkaitan
dengan hal ini adalah tentang bilangan. Bilangan yang ada pertama
kali adalah bilangan asli. Sifat-sifat himpunan dari obyek diskrit ( dan
juga terbilang) dan metode penjumlahkan dan pengurangan, mengalikan dan
membaginya,
dikembangkan selama berabad-abad, diajarkan pada dekade. Setelah itu barulah berkembang tentang konsep
bilangan pecahan, bilangan bulat negatif, dan aturan memberikan cara yang
benar untuk penambahan dan pengurangan, perkalian dan pembagiannya. Beberapa
sifat dan operasi seperti penjumlahan
dan pengurangan yang melekat pada
bilangan asli pun kemudian diasimilasi pada himpunan bilangan-bilangan ini.
Bagaimana gagasan tentang
bilangan dapat digeneralisasikan dengan baik melalui langkah-langkah dari
bilangan bulat, bilangan rasional dan seterusnya? Suatu jawaban terperinci disampaikan dalam Bab 10 dan
11 tetapi sepatutnya diadakan peninjauan pendahuluan. Kita harus dirumuskan sifat-sifat formal dari sistem bilangan asli. Dengan operasi penjumlahan dan perkalian pada bilangan asli, didapatkan bilangan asli lainnya. Sifat formal adalah sifat-sifat yang tidak
tergantung pada contoh yang kita pilih. Maka 12 + 9 = 21 dan 12 x 9 = 108
bukanlah sifat formal tetapi 12 + 9 = 9 +12 dan 12 x
9= 9 x 12, meskipun tidak dinyatakan secara umum. Adapun lima sifat formal dari sistem bilangan asli adalah sebagai berikut:
1.
a + b = b + a
2.
a x b = b x a
3.
a + (b + c) =
(a + b) + c
4.
a
x (b x c) = (a x b) x c
5.
a
x (b + c) = (a x b) + (a x c)
dengan a, b dan c adalah bilangan asli
Meskipun
demikian sistem bilangan terbilang (bilangan asli) kita adalah terbatas. Dengan
bantuan unit-unit sistem ini dapat diperluas sehingga memungkinkan pengukuran
objek selanjutnya; tetapi bilangan-bilangan yang ada tidak termasuk semua yang kita
butuhkan dengan ukuran kurang dari satu unit. Karena kelemahan ini munculah bilangan yang baru,
berhubungan dengan satuan yang pecah. Namun,
hal ini terlalu dini untuk untuk menyebut bilangan-bilangan itu sebelum kita menggeneralisasikan skema 'sistem
bilangan' dengan memenuhi syarat kegunaan dan konsistensi.
Yang dimaksud dengan konsistensi adalah kita harus menciptakan cara-cara :
menambah dan mengalikan entitas baru yang
mempunyai lima sifat
formal. Kegunaan memiliki arti bahwa hasil-hasil dari manipulasi tersebut harus mengarahkan kepada kita mengetahui hal yang seharusnya diketahui sehubungan dengan obyek-obyek yang ditunjukkan dengan
entitias. Kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi dengan membuat
asimilasi dari sistem bilangan baru untuk keberadaan dan menggunakan
skema yang baik.
Penggunaan yang sama untuk
pengembangan dari bilangan bulat positif dan negatif, bilangan rasional (yang
biasanya diidentifikasikan dengan bilangan pecah), bilangan riil ( meliputi
irrasional seperti √2, π) sampai di sini kita terkait dengan prosesnya bukan hasilnya, dan aktivitas refleksi pada sifat
formal dari skema yang merupakan bagian dari proses generalisasi matematis, yang
merupakan aktivitas pada
tingkat yang lebih tinggi dibanding kecerdasan reflektif.
Jika kecerdasan yang kedua yaitu kecerdasan reflektif yang berperan penting dalam menentukan progres kemajuan level pemikiran matematis, maka
hal ini jelas akan memunculkan ketertarikan yang besar untuk mengetahui pada usia
berapa kemampuan reflektif ini akan muncul dan
bagaimana kita bisa membantu sekaligus mempercepat kemunculannya jika
dibutuhkan. Jawaban
untuk pertanyaan pertama kita dapat merujuk pada penelitian Inhelder dan Piaget (1958) yang mengindikasikan bahwa anak mampu mengembangkan kemampuan refleksi
terhadap isi (makna sesuatu) pada umur sekitar 7 – 11 tahun. Pada usia tersebut mereka mampu menggunakan ide – ide kongkret dalam bebagai cara, seperti membalikkan sebuah tindakan meski hanya dalam imajinasi,
kemudian kembali lagi pada pekerjaan awal sesuai urutan semula. Pada usia tersebut mereka juga bisa menemukan sebuah
pokok permasalahan meskipun tidak dengan alasan yang formal (dengan argumen
yang bebas dan tidak terikat pada isi permasalahan) sampai mereka menjadi
dewasa. Terkait dengan hal ini Inhelder dan Piaget juga menemukan bahwa anak yang lebih muda tidak mampu membuat
argumentasi dari sebuah hipotesis apabila hipotesis tersebut bertolak belakang
dengan pengalamannya selama ini.
Pada
penelitian Inhelder dan Piaget diatas
permasalahannya dibatasi hanya pada apa yang telah mereka temukan. Atau bisa
dikatakan bahwa pengalaman dapat mengindikasikan progress dari kecerdasan reflektif
seperti yang telah dikembangkan di sekolah-sekolah Swiss melalui interaksi
antara kemampuan yang dibawa sejak lahir dengan pengalaman budaya dan
pendidikan yang dialami. Kita tidak akan mengetahui perkembangan dari interaksi
ini jika kita tidak langsung mengajar. Sebagai pembanding, ketika kebanyakan
siswa belajar menyanyi secara spontan tentang suatu nyanyian yang sedang “ngetren” dengan hanya mendengarkan
orang lain bernyanyi. Tetapi proses belajar ini akan sangat dipercepat dan pada
akhirnya hasilnya sangat meningkat hanya dengan menjadi anggota paduan suara
pada King’s university di Cambridge atau Magdalen
University di Oxford. Sekarang ini perngembangan dari kemampuan reflektif
dan penalaran formal tidak menjadi bahan pengajaran dikarenakan dua alasan
yakni karena kepentingan ini sulit diwujudkan dan kedua karena kita tidak tahu
bagaimana cara mengajarkannya dan bagaimana cara mempelajarinya.
Sebuah hipotesis yang
sangat beralasan pada saat ini adalah bahwa pada kondisi apapun seorang pelajar diharuskan mampu
merumuskan gagasannya secara eksplisit dan mampu meyakinkan gagasan tersebut dengan menunjukkan penurunannya
secara logis dari gagasan yang lain dan gagasan yang dapat diterima secara umum. Hal
ini akan melatih dan juga mengembangkan kecerdasan reflektif pada skema mereka. Dengan kata lain, proses diskusi dan penyampaian argumentasi dengan baik
adalah cara belajar yang paling efektif untuk melatih kecerdasan refletif.
Mereka
yang sudah mencoba pada umumnya setuju bahwa usaha untuk mengajarkan suatu topik dengan menggunakan tekanan yang kuat akan mempertajam kecerdasan reflektif siswa. Sebuah eksperimen sederhana bisa mendukung pandangan ini. Dua kelas paralel yang terdiri dari anak laki-laki berumur sekitar 14 tahun pada sekolah tingkah menengah mempelajari topik-topik yang berbeda dari guru matematika mereka. Pada setiap kelas akan
diberikan tes untuk masing-masing topik yang diajarkan dengan perlakuan yang
sama. Pada kelas yang pertama, ditekankan
pada konsep invers suatu bilangan. Sedangkan pada kelas yang lain, mereka juga mempelajari topik yang sama dalam waktu yang
bersamaan dan dalam durasi waktu yang sama.
Siswa yang berperan sebagai tutor
sebaya mengajari siswa-siswa yang lain tentang materi yang akan diujikan. Pada
intinya, di akhir percobaan kedua kelas diuji kembali tentang topik yang sama
dengan topik awal yang telah mereka ajari. Hal ini bertujuan untuk
membandingkan pengaruh pengajaran sebuah topik untuk kelas yang lain dengan|
upaya melanjutkan praktik secara mandiri. Hasilnya, didapatkan bahwa pada
eksperimen yang kedua lebih baik daripada ekspreimen yang pertama.
Komunikasi timbul sebagai salah satu
pengaruh yang menyenangkan pada perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu
faktornya adalah kebutuhan yang pasti untuk menghubungkan
gagasan dengan simbol.
Hal yang lain adalah interaksi antara gagasan pribadi seseorang dengan orang
lain. Agar kesepakatan diterima secara umum hasil secara komunal dari sebuah
ide harus bebas dari egosentris yang tidak tergantung dari pengalaman individu. Dan setelah hal ini dianjurkan dan dipaksakan
terhadap seseorang, maka perlu diklarifikasi dengan gagasan pribadi, direduksi
kesalahpahaman, dipertahankan dengan mengungkap hubungan gagasan tersebut
dengan gagasan lain, dan diperbaiki kelemahan yang ditemukan pada bagian lain,
dan diakhiri dengan struktur yang lebih kuat dan kohesif daripada sebelumnya.
Untuk dapat melaksanakan kebutuhan yang terakhir tentang pencapaian dari sebuah
ide, hal untuk mengurangi keterlibatan sehingga seseorang tidak merasa tertekan
pribadinya, terbebani atau terkalahkan ketika skemanya dinilai tidak akurat dan
tidak konsisten. Keyakinan terkhir sangat menunjukkan bahwa kaitan proses
pmbelajar dengan pengajar adalah hal yang sangat penting untuk mengembangkan
kecerdasan reflektif siswa.
Diskusi-diskusi ini harus diperluas dalam rangka meningkatkan pengaruh kepada setiap individu untuk mengasah kecerdasan intuitif', kemampuan reflektif untuk
mengonstruksi dan mengombinasikan isi pikiran, kemampuan bernalar secara
formal.
Seseorang sangat diharapkan untuk merefleksikan
sebuah konsep yang belum dibentuk dan mengembangkan secara lebih
baik sistem reflektifnya.Jadi baik kecerdasan intuitif maupun reflektif menjadi
bagian yang benar-benar dibutuhkan untuk pengembangan kajian matematika yang
baru. Maka di
dalam langkah-langkah yang lebih awal, analisa konseptual oleh guru harus
digunakan sebagai suatu dasar untuk membuat suatu rencana yang cermat, yaitu
pelajar dapat mempersatukan kembali struktur di dalam pikirannya. Ini adalah
kasus apakah pelajaran secara langsung diambil dari seorang guru, atau secara
tidak langsung dari sebuah buku. Situasi yang lebih menguntungkan yaitu
pertanyaan-pertanyaan dapat diajukan, penjelasan diberikan, dan memberi keuntungan yang lebih besar, bahwa
seorang guru yang peka dapat mengetahui titik-titik pertumbuhan skema para
pelajar, dan memberi materi pada saat yang tepat. Fleksibilitas pendekatan ini
memerlukan juga suatu penguasaan materi yang lebih baik yang kemudian membuat
persiapan perencanaan yang baik.
Sumbangan terakhir dari guru yang baik
adalah mengurangi ketergantungan siswa secara bertahap dalam proses pembelajaran. Selain itu, juga
memberikan ruang kebebasan pada siswanya untuk
menganalisis sendiri materi baru yang didapatkannya sehingga siswa dapat
menyesuaikan dengan skemanya sendiri
melalui proses yang bermakna bagi mereka dengan cara yang sama atau berbeda
dari cara yang telah ditunjukkan.
Dengan demikian, guru matematika harus memiliki tiga tugas utama.
Pertama,
dia harus mampu menyesuaikan materi
matematika dengan perkembangan skema
matematika siswa. Kedua, dia juga harus menguasai pola penyajian dengan
model-model berpikir (seperti penalaran intuitif, penalaran kongkrit, gabungan
keduanya, dan berfikir formal) sehingga
dapat diterima oleh siswa. Ketiga, dia harus mampu meningkatkan secara bertahap
kemampuan analitik siswa sehingga mereka mampu mencapai kemandirian dan
mengurangi ketergantungan kepada guru .
Meskipun kita
mempunyai beberapa dugaan yang sangat
beralasan akan perkembangan terakhir, tetapi pengetahuan kita akan hal ini masih sangat
terbatas. Karena itu, guru-guru yang terbaik adalah mereka yang selalu aktif
untuk belajar.